Sabtu, 19 Mei 2012

Khiyar dalam Muamalah




KHIYAR

A.    Pengetian khiyar
Kata khiyar berasal dari bahasa arab yang berarti pilihan atau mencari kebaikan dari dua perkara dalam hal ini meliputi melanjutkan atau membatalkan, secara terminologi para ulama fiqh mendefenisikan khiyar dengan
أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِالْخِيَارُبَيْنَ اِمْضَاءِالْعَقْدِ وَعَدَمِ اِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رَفَقَا لِلْمُتَعَاقِدِيْنِ
“Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melansungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.”
Hak khiyar ditetapkan syari’at islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar menurut ulama fiqh adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.[1]

B.     Macam-macam khiyar
1.      Khiyar Majlis
Khiyar majlis yaitu hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad selama keduanya masih berada dalam majlis akad dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah terpisah badan atau salah seorang diantara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual atau membeli. Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual beli dan sewa menyewa.
Khiyar majlis menurut pengertian ulama fiqh adalah
اَنْ يَكُوْنَ لِكُلٍّ مِنَ الْعَاقِدِيْنِ حَقٌّ فَسْخُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مُجْلِسِ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّقَا بِأَبْدَانِهَا يُخَيِّرُ اَحَدُهُمَا الأَخَرَ فَيُخْتَارُلُزُوْمُ الْعَقْدِ
“Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.”[2]
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW
اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا لأِخَرَ أِخْتَرْ
“Jual beli itu dengan bebas memilih selagi keduanya belum berpisah atau penjual berkata kepada pembeli : Pilihlah.”(HR. Bukhari dan Muslim)[3]
Bagi tiap-tiap pihak dari kedua pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya. Pendapat yang dianggap rajih, bahwa yang dimaksud berpisah sesuai dengan adat kebiasaan setempat dimana jual beli itu berlansung.
Dasar hukum adanya khiyar majlis adalah sabda rasulullah saw yang berbunyi :
أِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا....
“Apabila dua orang malakukan akad jual beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan....(HR Bukhari dan Muswlim dari Abdullah ibn Umar)
Sesungguhnya khiyar majlis itu beralasan baik dalam jual beli, shulh (perjanjian damai), hiwalah (tukar-menukar) maupun ijarah (sewa-menyewa) dan semua jenis akad pertukaran yang lazim dalam urusan harta.[4]
Akan tetapi, tentang keabsahan khiyar majlis ini terdapat perbedaan pendapaat ulama :
a.       Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa masing-masing pihak yang melakukan akad berhak mempunyai khiyar majlis selama mereka masih dalam majlis akad. Sekalipun akad telah sah dengan adanya ijab dan qabul, selama keduanya masih dalam majlis akad, maka masing-masing pihak berhak untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli itu.
b.      Ulama Hanifiyah dan Malikiyah, berpendapat bahwa akad dapat menjadi lazim dengan adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa hanya dengan khiyar, sebab Allah SWT menyuruh untuk menempati janji, sebagaimana firman Allah yang artinya.
Wahai orang orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu(QS. Al-Maidah: 1))
Selain itu, suatu akad tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya keridhaan, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“...Kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu...(QS. An-Nisa’ :29)”
Maksudnya, apabila suatu akad telah terpenuhi, kedua belah pihak sudah saling rela, maka akad telah sah dan tidak ada lagi peluang di tempat itu untuk membatalkan akad.[5]
2.      Khiyar at-Ta’yin
Yang dimaksud dengan khiyar ta’yin yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Contohnya adalah dalam pembelian barang yang mempunyai perbedaan kualitas, jadi dalam hal ini pembeli tidak mengetahui mana yang kualitas bagus dan kualitas sedang. Khiyar seperti ini menurut ulama Hanafiyah adalah boleh, dengan alasan bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ta’yin dibolehkan.
Akan tetapi jumhur ulama fiqh tidak menerima keabsahan khiyar ta’yin yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah. Alasan mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa yang diperdagangkan harus jelas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam persoalan khiyar ta’yin, menurut mereka kelihatan bahwa identitas barang yang akan dibeli belum jelas. Oleh karena itu, ia termasuk ke dalam jual beli al madum (tidak jelas identitasnya) yang dilarang syara’.
Ulama hanafiyah mengemukakan tiga syarat untuk sahnya khiyar ta’yin, yaitu :
a.       Pilihan dilakukan terhadap barang sejenis yang berbada kualitas dan sifatnya.
b.      Barang itu berbada sifat dan nilainya.
c.       Tenggang waktu untuk khiyar ta’yin ini harus ditentukan, menurut Imam Abu Hanifah tidak lebih dari 3 hari.
Khiyar ta’yin hanya berlaku untuk transaksi yang bersifat pemindahan hak milik yang berupa materi dan mengikat bagi kedua belah pihak, seperti jual beli.[6]
3.      Khiyar Syarat
Khiyar syarat yaitu hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan. Misalnya pembeli mengatakan “saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau membatalkan akad selama satu minggu”

Khiyar syarat menurut pengertian ulama fiqh adalah
أَنْ يَكُوْنَ لِاَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ اَوْلِكِيْلَهُمَا اَوْ لِغَيْرِهِمَاالْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْاِمْضَائِهِ خِلّالَ مُدَّةٍ مَعْلُوْمَةٍ
“Suatu keadaan yang membolahkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”[7]
Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa khiyar syarat itu dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual.
Tenggang waktu dalam khiyar syarat menurut jumhur ulama fiqh harus jelas. Apabila tenggang waktu khiyar tidak jelas atau selamanya maka khiyar tidak sah. Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya waktu khiyar syarat. Menurut Imam Abu Hanifah, Zubair ibn Huzail, pakar fiqh Hanafi dan Imam Syafi’i tenggang waktu dalam khiyar syarat tidak lebih dari 3 hari. Sebagaimana sabda rasulullah saw :
أِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لاَخِلَابَة وَلِيَ الْخِيَارُثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
”Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanlah (pada penjual): jangan ada tipuan! dan saya berhak memilih dalam 3 hari. (HR. Bukhari dan Muslim dari Umar)”
اَنَّ رَجُلًا اِشْتَرَى مِنْ رَجُلٍ بَعِيْرًا وَاشْتَرَطَ عَلَيْهِ الْخِيَارَ اَرْبَعَةَ اَيَّامٍ. فَاَبْطَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. الْبَيْعَ وَقَالَ : اَلْخِيَارُ ثَلَاثَةُ اَيَّامٍ
“Seseorang laki-laki membeli seekor unta dari laki-laki lainya, dan ia mensyaratkan khiyar selama empat hari. Rasulullah saw membatalkan jual beli tersebut dan bersabda; khiyar adalah tiga hari.(HR Abdurrazaq)”
Menurut mereka, ketentuan tenggang waktu tiga ini ditentukan syara’ untuk kemaslahatan pembeli. Oleh sebab itu tenggang waktu tiga hari itu harus dipertahankan dan tidak boleh dilebihkan, sesuai dengan ketentuan umum dalam syara’ bahwa sesuatu yang ditetapkan sebagai hukum pengecualian, tidak boleh ditambah dan dikurangi atau diubah. Dengan demikian menurut mereka, apabila tenggang waktu yang ditentukan itu melebihi dari waktu yang ditentukan hadis diatas, maka akad jual belinya dianggap batal.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani dan ulama Hanabilah tenggang waktu dalam khiyar syarat itu terserah kepada kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan jual beli, sekalipun lebih dari tiga hari. Alasan mereka, khiyar itu diisyaratkan untuk kelegaan atau kerelaan hati kedua belah pihak dan boleh dimusyawarahkan. Mengenai hadis diatas menurut mereka hanya untuk sifullan saja dan Rasulullah SAW menganggap bahwa untuk sifullan cukup diberikan tenggang waktu tiga hari saja. Sedangkan untuk orang lain belum tentu cukup tiga hari.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggang waktu itu ditentukan sesuai dengan keperluan dan keperluan itu boleh berbeda untuk setiap objek akad.[8]
Khiyar syarat dapat gugur dengan 3 cara
a.       Pengguguran jelas (shariah)
Pengguguran shariah adalah pengguguran oleh orang yang berkhiyar.
b.      Pengguguran dengan dilalah
Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf (beraktivitas pada barang) dari pelaku khiyar.
c.       Pengguguran dengan kemadaratan
Pengguguran ini terdapat dalam beberapa keaadaan, anatara lain :
1.      Habis waktu
2.      Kematian orang yang memberikan syarat
Dalam hal ini ulama berbada pendapat, antara lain
·         Menurut ulama Hanafiyah, khiyar syarat tidak dapat diwariskan, tetapi gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.
·         Menurut ulama Hanabilah, khiyar batal dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat, kecuali jika ia mengamanatkan untuk membatalkannya, dalam hal ini khiyar menjadi hak ahli waris.
·         Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi hak ahli waris, dengan demikian khiyar tidak gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.
3.      Hilang akal disebabkan gila, mabuk atau hal lainnya
4.      Barang rusak ketika masih khiyar
Dalam hal ini terdapat beberapa masalah dimana barang tersebut rusaknya
·         Jika rusak masih ditangan penjual makan batallah jual beli daan khiyarpun gugur
·         Jika barang sudah pada tangan pembeli, jual beli batal jika khiyar berasal dari penjuan, tetapi pembeli harus menggantinya. Jika kiyar berasal dari pembeli maka jual beli menjadi lazim dan khiyar pun gugur.[9]
4.      Khiyar “Aib
Khiyar ‘aib yaitu hak untuk membatalkan atau melanjutkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjual belikan dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlansung. Misalnya seseorang membeli telur ayam satu kilogram kemudian satu butir diantaranya sudah busuk hal ini sebelumnya belum diketahui baik bagi penjual atau pembeli.
Menurut ulama fiqh khiyar ‘aib itu adalah
اَنْ يَكُوْنَ لِاَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ الْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْاِمْضَاءِهِ اِذَاوُجِدَ عَيْبٌ فِى اَحَدِ الْبَدْلَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ عَالِمًابِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ
“Keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan ‘aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.”
Dasar hukum khiyar ‘aib ini diantaranya adalah sabda rasulullah saw, yang berbunyi :
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمِ بَاعَ مِنْ أَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ أِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
“Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada baraang terdapat ‘aib kecuali dijelaskan terlebih dahulu. (HR. ad-Daruqutni dan Abu Hurairah)”
Khiyar ‘aib ini, berlaku sejak diketahuinya cacat pada barang yang diperjual belikan walaupun akad sudah berlansung cukup lama dan dapat diwarisi oleh ahli waris pemilik hak khiyar.
Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara lansung. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat.
Adapun syarat-syarat berlakunya khiyar ‘aib menurut pakar fiqh setelah diketahui ada cacat pada barang itu adalah :
a.       Cacat itu diketahui sebelum atau sesudah akad tetapi belum serah terima barang dan harga atau cacat itu merupakan cacat lama.
b.      Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad berlansung.
c.       Ketika akad berlansung, pemilik barang tidak mengisyaratkan bahwa apabila ada cacat tidak boleh dikembalikan, menurut ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan salah satu riwayat dari Hanabilah bahwa seorang penjual tidak sah meminta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan ‘aib.
d.      Cacat tidak hilang sampai dilakukan pembataalaan akad.
Pengembalian barang cacat terhalang disebabkan oleh beberapa hal :
a.       Pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang, baik kerelaan itu ditunjukkan dengan jelas maupun tidak.
b.      Hak khiyar itu digugurkan oleh yang memilikinya.
c.       Benda yang menjadi obyek transaksi itu hilang atau muncul cacat baru disebabkan perbuatan pemilik hak khiyar atau barang tersebut telah berubah total ditangan pemilik hak khiyar.
d.      Terjadi penambahan materi barang itu ditangan pemilik hak khiyar, seperti pembelian tanah dan kemudian diatasnya sudah dibangun rumah.


5.      Khiyar Ru’yah
Yang dimaksud dengan khiyar ru’yah yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyakatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlansung. Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyariatkan dalam islam berdasarkan sabda Nabi :
مَنِ اشْتَرَى شَيْئًا لَمْ يَرَهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ أِذَا رَآه
“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu.(HR. ad-Daruqutnu dan Abu Hurairah)”
Akad seperti ini, menurut mereka boleh terjadi disebabkan obyek yang akan dibeli itu tidak ada ditempat berlangsungnya akad atau tersimpan dalam sesuatu yang menjadi penghalang bagi pembeli untuk melihat langsung. Dan khiyar ini berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan dibeli.
Akan tetapi ulama Syafi’iyah, dalam al-mazhab al jaded menyatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik baraang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad mengandung unsur penipuan yang membawa kepada perselisihan dan hadist rasulullah menyatakan :
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ غَرَرٍ
“Rasulullah saw melarang jual beli barang yang mengandung penipuan.(HR. al-Jama’ah, kecuali Bukhari)”
Hadist yang dikemukanan jumhur di atas menurut meraka adalah hadist dha’if, tidak boleh dijadikan dasar hukum.
Jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar ru’yah :
a.       Obyek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.
b.      Objek akad berupa materi seperti tanah atau rumah.
c.       Akad itu mempunyai alternatif untuk dibatalkan seperti jual beli atau sewa menyewa.
Apabila akad dibatalkan berdasarkan khiyar ru’yah maka harus memenuhi syarat-syarat berikut :
a.       Hak khiyar masih berlaku bagi pembeli
b.      Pembatalan tidak berakibat merugikan penjual.
c.       Pembatalan itu diketahui pihak penjual
Menurut jumhur ulama khiyar ru’yah akan berakhir apabila :
a.       Pembeli menunjukkan kerelaannya melangsungkan jual beli.
b.      Objek yang dijualbelikan hilang atau terjadi tambahan cacat.
c.       Terjadinya penambaahaan materi objek setelah dikuasai pembeli, kecuali penambahan alami.
d.      Orang yang memiliki hak khiyar meninggal dunia baik sebelum atau sesudah melihat objek tetapi belum ada pernyatan kepaastian membeli darinya. Menurut ulama Hanafiyah dan HAnabilah khiyar ru’yah tidak boleh diwariskan kepada ahli waris, tapi menurut ulama Malikiyah boleh diwariskan.


[1] Nasrun Haroen,  Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama, 2007,Jakarta,  h. 129
[2] Rachmad Syafe’i, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, 2001, Bandung, h. 113
[3] Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap, Kifayatul Akhyar, 1988, Semarang, h. 139
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 12, PT. Alma’arif, 1987, Bandung, h. 107
[5] Rachmad Syafe’i, Op Cit, h. 114
[6] Nasrun Haroen,  Op Cit,  h. 132
[7] Rachmad Syafe’i, Op Cit, h. 103
[8] Nasrun Haroen,  Op Cit,  h. 134
[9] Rachmad Syafe’i, Op Cit, h. 108-111

 ____________________________________________________________________________
 

 
Oleh:
Riover Edwar

JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS SYARIAH