KHIYAR
A. Pengetian
khiyar
Kata khiyar berasal dari bahasa arab yang berarti pilihan atau
mencari kebaikan dari dua perkara dalam hal ini meliputi melanjutkan atau
membatalkan, secara terminologi para ulama fiqh
mendefenisikan khiyar dengan
أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِالْخِيَارُبَيْنَ
اِمْضَاءِالْعَقْدِ وَعَدَمِ اِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رَفَقَا لِلْمُتَعَاقِدِيْنِ
“Hak
pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk
melansungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi
masing-masing pihak yang melakukan transaksi.”
Hak khiyar ditetapkan syari’at islam bagi orang-orang yang melakukan
transaksi agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga
kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya.
Status khiyar menurut ulama fiqh adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena
suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing
pihak yang melakukan transaksi.[1]
B.
Macam-macam khiyar
1.
Khiyar Majlis
Khiyar majlis yaitu hak pilih bagi kedua
belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad selama keduanya masih berada
dalam majlis akad dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi
baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah
terpisah badan atau salah seorang diantara mereka telah melakukan pilihan untuk
menjual atau membeli. Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi
yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti
jual beli dan sewa menyewa.
Khiyar majlis menurut pengertian ulama fiqh adalah
اَنْ يَكُوْنَ لِكُلٍّ مِنَ الْعَاقِدِيْنِ
حَقٌّ فَسْخُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مُجْلِسِ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّقَا
بِأَبْدَانِهَا يُخَيِّرُ اَحَدُهُمَا الأَخَرَ فَيُخْتَارُلُزُوْمُ الْعَقْدِ
“Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk
membatalkan akad selagi masih berada di tempat dan kedua pihak belum berpisah.
Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.”[2]
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW
اَلْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا لأِخَرَ أِخْتَرْ
“Jual beli itu dengan bebas memilih selagi
keduanya belum berpisah atau penjual berkata kepada pembeli : Pilihlah.”(HR.
Bukhari dan Muslim)[3]
Bagi tiap-tiap pihak dari kedua pihak ini
mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum
berpisah secara fisik. Dalam kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan
situasi dan kondisinya. Pendapat yang dianggap rajih, bahwa yang dimaksud
berpisah sesuai dengan adat kebiasaan setempat dimana jual beli itu berlansung.
Dasar hukum adanya khiyar majlis adalah
sabda rasulullah saw yang berbunyi :
أِذَا
تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ
يَتَفَرَّقَا....
“Apabila dua orang malakukan akad jual beli, maka
masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah
badan....(HR Bukhari dan Muswlim dari Abdullah ibn Umar)
Sesungguhnya khiyar majlis itu beralasan
baik dalam jual beli, shulh (perjanjian damai), hiwalah (tukar-menukar) maupun
ijarah (sewa-menyewa) dan semua jenis akad pertukaran yang lazim dalam urusan
harta.[4]
Akan tetapi, tentang keabsahan khiyar
majlis ini terdapat perbedaan pendapaat ulama :
a.
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa masing-masing pihak yang melakukan
akad berhak mempunyai khiyar majlis selama mereka masih dalam majlis akad.
Sekalipun akad telah sah dengan adanya ijab dan qabul, selama keduanya masih
dalam majlis akad, maka masing-masing pihak berhak untuk melanjutkan atau
membatalkan jual beli itu.
b.
Ulama
Hanifiyah dan Malikiyah, berpendapat bahwa akad dapat menjadi lazim dengan
adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa hanya dengan khiyar, sebab Allah SWT
menyuruh untuk menempati janji, sebagaimana firman Allah yang
artinya.
Wahai orang orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu(QS. Al-Maidah: 1))
Selain itu, suatu akad tidak akan
sempurna, kecuali dengan adanya keridhaan, sebagaimana firman Allah yang
artinya:
“...Kecuali dengan jalan perdagangan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu...(QS. An-Nisa’ :29)”
Maksudnya, apabila suatu akad telah
terpenuhi, kedua belah pihak sudah saling rela, maka akad telah sah dan tidak
ada lagi peluang di tempat itu untuk membatalkan akad.[5]
2.
Khiyar at-Ta’yin
Yang dimaksud dengan khiyar ta’yin yaitu hak
pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual
beli. Contohnya adalah dalam pembelian barang yang mempunyai perbedaan
kualitas, jadi dalam hal ini pembeli tidak mengetahui mana yang kualitas bagus
dan kualitas sedang. Khiyar seperti
ini menurut ulama Hanafiyah adalah boleh, dengan alasan bahwa produk sejenis
yang berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara
pasti oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli
tidak tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka
khiyar ta’yin dibolehkan.
Akan tetapi jumhur ulama fiqh tidak menerima
keabsahan khiyar ta’yin yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah. Alasan
mereka, dalam akad jual beli ada
ketentuan bahwa yang diperdagangkan harus jelas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam persoalan khiyar ta’yin,
menurut mereka kelihatan bahwa identitas barang yang akan dibeli belum jelas.
Oleh karena itu, ia termasuk ke dalam jual beli al ma’dum (tidak jelas identitasnya) yang dilarang
syara’.
Ulama hanafiyah mengemukakan tiga syarat
untuk sahnya khiyar ta’yin, yaitu :
a.
Pilihan
dilakukan terhadap barang sejenis yang berbada kualitas dan sifatnya.
b.
Barang
itu berbada sifat dan nilainya.
c.
Tenggang
waktu untuk khiyar ta’yin ini harus ditentukan, menurut Imam Abu Hanifah tidak
lebih dari 3 hari.
Khiyar ta’yin hanya berlaku untuk
transaksi yang bersifat pemindahan hak milik yang berupa materi dan mengikat
bagi kedua belah pihak, seperti jual beli.[6]
3.
Khiyar Syarat
Khiyar syarat yaitu hak pilih yang
ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang
lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama masih dalam tenggang
waktu yang ditentukan. Misalnya pembeli mengatakan “saya beli barang ini
dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau
membatalkan akad selama satu minggu”
Khiyar syarat menurut pengertian ulama fiqh adalah
أَنْ يَكُوْنَ لِاَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ اَوْلِكِيْلَهُمَا
اَوْ لِغَيْرِهِمَاالْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْاِمْضَائِهِ خِلّالَ مُدَّةٍ
مَعْلُوْمَةٍ
“Suatu keadaan yang membolahkan salah seorang yang
akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki
hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”[7]
Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa
khiyar syarat itu dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli
dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual.
Tenggang waktu dalam khiyar syarat menurut
jumhur ulama fiqh harus jelas. Apabila tenggang waktu khiyar tidak jelas atau
selamanya maka khiyar tidak sah. Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya
waktu khiyar syarat. Menurut Imam Abu Hanifah, Zubair ibn Huzail, pakar fiqh
Hanafi dan Imam Syafi’i tenggang waktu dalam khiyar syarat tidak lebih dari 3
hari. Sebagaimana sabda rasulullah saw :
أِذَا
بَايَعْتَ فَقُلْ: لاَخِلَابَة وَلِيَ الْخِيَارُثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
”Apabila seseorang membeli suatu barang, maka
katakanlah (pada penjual): jangan ada tipuan! dan saya berhak memilih dalam 3
hari. (HR. Bukhari dan Muslim dari Umar)”
اَنَّ رَجُلًا اِشْتَرَى مِنْ رَجُلٍ بَعِيْرًا وَاشْتَرَطَ
عَلَيْهِ الْخِيَارَ اَرْبَعَةَ اَيَّامٍ. فَاَبْطَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م.
الْبَيْعَ وَقَالَ : اَلْخِيَارُ ثَلَاثَةُ اَيَّامٍ
“Seseorang laki-laki membeli seekor unta dari
laki-laki lainya, dan ia mensyaratkan khiyar selama empat hari. Rasulullah saw
membatalkan jual beli tersebut dan bersabda; khiyar adalah tiga hari.(HR
Abdurrazaq)”
Menurut
mereka, ketentuan tenggang waktu tiga ini ditentukan syara’ untuk kemaslahatan
pembeli. Oleh sebab itu tenggang waktu tiga hari itu harus dipertahankan dan
tidak boleh dilebihkan, sesuai dengan ketentuan umum dalam syara’ bahwa sesuatu
yang ditetapkan sebagai hukum pengecualian, tidak boleh ditambah dan dikurangi
atau diubah. Dengan demikian menurut mereka, apabila tenggang waktu yang
ditentukan itu melebihi dari waktu yang ditentukan hadis diatas, maka akad jual
belinya dianggap batal.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad Hasan
asy-Syaibani dan ulama Hanabilah tenggang waktu dalam khiyar syarat itu terserah kepada
kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan jual beli, sekalipun lebih dari
tiga hari. Alasan mereka, khiyar itu diisyaratkan untuk kelegaan atau
kerelaan hati kedua belah pihak dan boleh dimusyawarahkan. Mengenai hadis
diatas menurut mereka hanya untuk sifullan saja dan Rasulullah SAW menganggap
bahwa untuk sifullan cukup diberikan tenggang waktu tiga hari saja. Sedangkan
untuk orang lain belum tentu cukup tiga hari.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggang
waktu itu ditentukan sesuai dengan keperluan dan keperluan itu boleh berbeda
untuk setiap objek akad.[8]
Khiyar syarat dapat gugur dengan 3 cara
a. Pengguguran
jelas (shariah)
Pengguguran shariah adalah pengguguran oleh orang yang
berkhiyar.
b. Pengguguran
dengan dilalah
Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf
(beraktivitas pada barang) dari pelaku khiyar.
c. Pengguguran
dengan kemadaratan
Pengguguran ini terdapat dalam beberapa keaadaan,
anatara lain :
1. Habis
waktu
2. Kematian
orang yang memberikan syarat
Dalam hal ini ulama berbada pendapat, antara lain
·
Menurut ulama Hanafiyah, khiyar syarat tidak
dapat diwariskan, tetapi gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan
syarat.
·
Menurut ulama Hanabilah, khiyar batal dengan
meninggalnya orang yang memberikan syarat, kecuali jika ia mengamanatkan untuk
membatalkannya, dalam hal ini khiyar menjadi hak ahli waris.
·
Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa
khiyar menjadi hak ahli waris, dengan demikian khiyar tidak gugur dengan
meninggalnya orang yang memberikan syarat.
3. Hilang
akal disebabkan gila, mabuk atau hal lainnya
4. Barang
rusak ketika masih khiyar
Dalam hal ini terdapat beberapa masalah dimana barang
tersebut rusaknya
·
Jika rusak masih ditangan penjual makan batallah
jual beli daan khiyarpun gugur
·
Jika barang sudah pada tangan pembeli, jual beli
batal jika khiyar berasal dari penjuan, tetapi pembeli harus menggantinya. Jika
kiyar berasal dari pembeli maka jual beli menjadi lazim dan khiyar pun gugur.[9]
4.
Khiyar “Aib
Khiyar ‘aib yaitu hak untuk membatalkan
atau melanjutkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila
terdapat suatu cacat pada objek yang diperjual belikan dan cacat itu tidak
diketahui pemiliknya ketika akad berlansung. Misalnya seseorang membeli
telur ayam satu kilogram kemudian satu butir diantaranya sudah busuk hal ini
sebelumnya belum diketahui baik bagi penjual atau pembeli.
Menurut ulama fiqh
khiyar ‘aib itu adalah
اَنْ
يَكُوْنَ لِاَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ الْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْاِمْضَاءِهِ
اِذَاوُجِدَ عَيْبٌ فِى اَحَدِ الْبَدْلَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ
عَالِمًابِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ
“Keadaan yang
membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau
menjadikannya ketika ditemukan ‘aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan
alat tukar menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.”
Dasar hukum khiyar
‘aib ini diantaranya adalah sabda rasulullah saw, yang berbunyi :
اَلْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمِ بَاعَ مِنْ أَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ
عَيْبٌ أِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
“Sesama muslim
itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim
lain, padahal pada baraang terdapat ‘aib kecuali dijelaskan terlebih dahulu.
(HR. ad-Daruqutni dan Abu Hurairah)”
Khiyar
‘aib ini, berlaku sejak diketahuinya cacat pada barang yang diperjual belikan
walaupun akad sudah berlansung cukup lama dan dapat diwarisi oleh ahli waris
pemilik hak khiyar.
Menurut
ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah
diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara
lansung. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan
akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat.
Adapun
syarat-syarat berlakunya khiyar ‘aib menurut pakar fiqh setelah diketahui ada
cacat pada barang itu adalah :
a. Cacat
itu diketahui sebelum atau sesudah akad tetapi belum serah terima barang dan
harga atau cacat itu merupakan cacat lama.
b. Pembeli
tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad berlansung.
c. Ketika
akad berlansung, pemilik barang tidak mengisyaratkan bahwa apabila ada cacat
tidak boleh dikembalikan, menurut ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan salah satu riwayat dari Hanabilah bahwa seorang
penjual tidak sah meminta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan ‘aib.
d. Cacat
tidak hilang sampai dilakukan pembataalaan akad.
Pengembalian
barang cacat terhalang disebabkan oleh beberapa hal :
a. Pemilik
hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang, baik kerelaan itu
ditunjukkan dengan jelas maupun tidak.
b. Hak
khiyar itu digugurkan oleh yang memilikinya.
c. Benda
yang menjadi obyek transaksi itu hilang atau muncul cacat baru disebabkan
perbuatan pemilik hak khiyar atau barang tersebut telah berubah total ditangan
pemilik hak khiyar.
d. Terjadi
penambahan materi barang itu ditangan pemilik hak khiyar, seperti pembelian
tanah dan kemudian diatasnya sudah dibangun rumah.
5.
Khiyar Ru’yah
Yang
dimaksud dengan khiyar ru’yah yaitu
hak pilih bagi pembeli untuk
menyakatakan berlaku atau batal jual beli yang
ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlansung.
Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan
Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyariatkan dalam islam berdasarkan
sabda Nabi :
مَنِ اشْتَرَى شَيْئًا لَمْ
يَرَهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ أِذَا رَآه
“Siapa yang
membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah
melihat barang itu.(HR. ad-Daruqutnu dan Abu Hurairah)”
Akad
seperti ini, menurut mereka boleh terjadi disebabkan obyek yang akan dibeli itu
tidak ada ditempat berlangsungnya akad atau tersimpan dalam sesuatu yang
menjadi penghalang bagi pembeli untuk melihat langsung. Dan khiyar ini berlaku
sejak pembeli melihat barang yang akan dibeli.
Akan
tetapi ulama Syafi’iyah, dalam al-mazhab al jaded menyatakan bahwa jual beli
barang yang gaib tidak sah, baik baraang itu disebutkan sifatnya waktu akad
maupun tidak. Oleh sebab itu khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad
mengandung unsur penipuan yang membawa kepada perselisihan dan hadist
rasulullah menyatakan :
نَهَى رسول الله صلى الله
عليه وسلم عَنْ بَيْعِ غَرَرٍ
“Rasulullah saw
melarang jual beli barang yang mengandung penipuan.(HR. al-Jama’ah, kecuali
Bukhari)”
Hadist yang
dikemukanan jumhur di atas menurut meraka adalah hadist dha’if, tidak boleh
dijadikan dasar hukum.
Jumhur ulama
mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar ru’yah :
a. Obyek
yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.
b. Objek
akad berupa materi seperti tanah atau rumah.
c. Akad
itu mempunyai alternatif untuk dibatalkan seperti jual beli atau sewa menyewa.
Apabila akad dibatalkan
berdasarkan khiyar ru’yah maka harus memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Hak
khiyar masih berlaku bagi pembeli
b. Pembatalan
tidak berakibat merugikan penjual.
c. Pembatalan
itu diketahui pihak penjual
Menurut jumhur
ulama khiyar ru’yah akan
berakhir apabila :
a. Pembeli
menunjukkan kerelaannya melangsungkan jual beli.
b. Objek
yang dijualbelikan hilang atau terjadi tambahan cacat.
c. Terjadinya
penambaahaan materi objek setelah dikuasai pembeli, kecuali penambahan alami.
d. Orang
yang memiliki hak khiyar meninggal dunia baik sebelum atau sesudah melihat
objek tetapi belum ada pernyatan kepaastian membeli darinya. Menurut ulama
Hanafiyah dan HAnabilah khiyar ru’yah tidak boleh diwariskan kepada ahli waris,
tapi menurut ulama Malikiyah boleh diwariskan.
[1] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama,
2007,Jakarta, h. 129
[2] Rachmad Syafe’i, Fiqh Muamalah, CV
Pustaka Setia, 2001, Bandung, h. 113
[3] Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fiqh
Islam Lengkap, Kifayatul Akhyar, 1988, Semarang, h. 139
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 12,
PT. Alma’arif, 1987, Bandung, h. 107
[5] Rachmad Syafe’i, Op Cit, h. 114
[6] Nasrun Haroen, Op Cit, h. 132
[7] Rachmad Syafe’i, Op Cit, h. 103
[8] Nasrun Haroen, Op Cit, h. 134
[9] Rachmad Syafe’i, Op Cit, h.
108-111
____________________________________________________________________________
Oleh:
Riover
Edwar
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS SYARIAH